Oleh Soleh Hidayat
Pertengahan tahun 2014 merupakan momentum pertama tentang bagaimana pendidikan mengenalkan saya pada dunia aktivisme. Diawali dengan ospek sederhana, bahkan hanya ada satu pemateri yang disuguhkan saat itu. Namun yang disampaikan sangat berisi dan memberikan suntikan spirit untuk belajar di kampus yang baru berdiri itu.Â
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STITNU) Al Farabi Pangandaran adalah kampus yang memiliki dua jurusan saat itu. Pertama Manajemen Pendidikan Islam dan Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Dua Jurusan yang memang sangat menunjang untuk keberlangsungan pendidikan di negeri ini. Juga tentang bagaimana mencerdaskan kehidupan anak bangsa.
STITNU Al Farabi yang berdiam di pondok pesantren Babakan Jamanis Parigi menjadi penguat  orientasi lembaga terkhusus untuk membentuk karakter mahasiswa. Sehingga nantinya akan menjadi konseptor dan pendidik bagi pelajar sebagai generasi penerus.
Saya pribadi mulai tersadarkan tentang bagaimana pentingnya belajar dan menimpa pengetahuan. Kampus NU satu – satunya di Kabupaten Pangandaran, meskipun sedikit terbatas dengan fasilitas, tidak mengurangi spirit berproses dan keyakinan untuk menjadi resourses pejuang pendidikan.
Mendapatkan pengetahuan dari ruang akademis menjadi bahan dasar dan referensi untuk menghadapi dunia nyata. Terlepas lulus nanti menjadi seorang guru atau tidak, namun mentransformasikan ilmu pengetahuan menjadi sebuah keharusan.
Tapi tidak cukup memahami materi di bangku akademik saja. Ada salah satu dosen STITNU Al Farabi yang bilang bahwa mahasiswa bagaikan seekor elang. Dasar dianalogikan dengan elang karena memiliki ketajaman dan kecepatan dalam memangsa makanannya.Â
Ia berkata bahwa elang bisa terbang tinggi dan sigap menangkap mangsanya karena menggunakan dua sayapnya. Persis seperti mahasiswa, bahwa mahasiswa akan lebih bermanfaat jiga mendalami dua hal. Bukan hanya ruang akademis, namun juga sangat penting untuk belajar di ruang aktivisme gerakan.
Karena teori yang dihasilkan dari pembelajaran di dalam kelas akan kurang bermanfaat jika tidak tau cara tentang implementasi dari ilmunya. Dalam hal ini penting untuk berproses pula dalam ruang organisasi dan menjadi aktivis sesuai minat dan bakatnya.
Itu yang saya dapatkan saat berkuliah di Kampus hijau. Kini kampus memiliki tambahan jurusan. Apalagi STITNU menargetkan menjadi Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU). Dengan tujuh jurusan, diantaranya ada Manajemen Pendidikan Islam, Pendidikan Anak Usia Dini, Bimbingan Konseling Pendidikan Islam, Manajemen Bisnis Syari’ah, manajemen Umrah dan haji, hukum keluarga Islam, Hukum Tata Negara.
Jadi bukan masalah pendidikan saja yang di perjuangkan kampus untuk generasi ke depan, namun bidang lain juga yang nantinya menciptakan insan ulul albab.
Penulis adalah Ketua IKA STITNU Al Farabi Pangandaran