Home » Alumni Fisipol UGM Ini Memilih Jadi Petani

Alumni Fisipol UGM Ini Memilih Jadi Petani

by admin
Alumni Fisipol UGM

SuaraKampus – Seorang alumni Fisipol UGM memilih jadi petani. Pengguna Twitter bernama Dipa akun Twitternya @tanikelana menuliskan tentang pilihannya untuk menjadi seorang petani.

Dipa menuliskan dia baru lulus dari jurusan Hubungan Internasional Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM). Setelah lulus, dia langsung memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan mulai bertani.

“Tujuh bulan lalu aku lulus dari Fisipol UGM. Januari lalu akhirnya aku pulang kampung, dan bulan Maret aku mulai ambil cangkul dan pergi ke kebun. Sedikit cerita tentang memilih jalan seorang petani! Ear of rice Seedling,” tulis Dipa di akun Twitternya @tanikelana

Seperti dilansir Wolipop, pria asal Sukabumi ini menyebutkan alasannya membuat thread di Twitter yang viral itu. “Sebatas curhat awalnya tetapi ternyata banyak yang respon karena ada keinginan untuk bertani, karena sadar banyak temen yang mau bertani juga,” ungkap Dipa saat dihubungi Wolipop lewat Whatsapp, Rabu (17/6/2020).

Melalui Twitter, pria berusia 22 tahun ini menjelaskan awal mula dirinya tertarik berlajar seputar pertanian. Semuanya berawal ketika dia bertemu komunitas Sekti Muda, yang menjadi wadah belajar pertanian alami.

“Ternyata banyak anak muda yang tertarik dunia pertanian. Nah di sana akhirnya aku belajar tentang tanaman, cara buat pupuk dan pestisida nabati, juga belajar langsung ke para petani. Aku belajar dengan Pak Udik, salah satu guru yg sering mengajarkan tentang nutrisi dan cara buat pupuk organik cair untuk tanaman. Ini misalnya aku dan temen-temen kunjungan ke Pak Daliman, beliau adalah praktisi pertanian alami di Bantul,” ungkap alumni Fisipol UGM ini.

Selain itu, Dipa juga dibimbing oleh pria bernama Qomarun Najmi dalam dunia pertanian. Setelah banyak bertemu dengan petani, belajar menanam di kost-kostan-nya, jiwa bertaninya yang dipupuk sejak kecil karena main game bertani online atau harvestmoon makin menjadi-jadi. Dan ia pun meminta pendapat dari keluarga tentang keputusannya untuk bertani.

“Di situ aku makin yakin, cita-citaku adalah jadi seorang petani. Namun gimana buat mulainya? awalnya pun aku mikir kaya orang lain, cari kerja dulu, nabung, dan kalau udah cukup kaya, beli lahan di desa dan jadi petani. Terus kepikiran, kalau aku mati muda? Dan ternyata karena krisis iklim, sepuluh tahun lagi bumi ga seindah sekarang? Aku sendiri bukan dari keluarga petani, ga mewarisi lahan yang luas, dan bukan dari kelas pemodal. Akhirnya setelah lulus dan di rumah aku ngobrol dengan keluargaku, dan mereka tetap mendukung pas aku bilang mau bertani,” ujarnya lewat Twitter.

Dipa mengaku didukung oleh keluarganya untuk menjadi petani. Dan juga alumni Fisipol UGM ini memperoleh dukungan dari teman-temannya.

“Di sana aku minjem sedikit uang ke keluargaku buat modal, sisanya aku jual buku-buku yg dikumpulin selama kuliah. Di bulan Maret aku mulai bertani, mulai belajar nyangkul, belajar lagi banyak hal langsung dengan para petani lain. Nah gimana bisa dapet lahan? Awalnya aku cari-cari informasi di sosmed, tanya keluarga, sempet juga ke kantor desa meski berakhir tanpa respon apapun. Lalu waktu aku mau beli larva buat ngolah sampah organik, ketemu temen yg nyambung, di situ ditemuin lagi dengan temen lain yang lagi garap lahan. Akhirnya setelah obrolan singkat di waktu senja, aku langsung diajak buat garap lahan kosong seluas 450-an meter. Di situ aku selalu meyakini, kalau sudah niat dari hati Allah selalu akan memberi jalanNya,” tuturnya.

Hasil dari usahanya mulai bertani tak semulus yang ia bayangkan sebelumnya. Dia mendapati ternyata banyak faktor yang sulit diperhitungkan misalnya fluktuasi harga, iklim, hama, dan penyakit.

“Setelah tiga-empat minggu, kangkungnya dah pada besar. Di situ aku jualin sebagian ke tukang sayur, tiap hari berangkat jam 6, panen kangkung terus keliling ke beberapa tukang sayur. Hasilnya cukup lumayan buat sehari-hari. Aku sendiri benar-benar bertani baru sekitar empat bulan, dan sejak aku mulai bertani rasanya hidup bener-bener tenang dan bahagia banget! Rasanya kaya bener-bener merdeka, hidup ga cuma buat ngumpulin uang, bisa terus saling berbagi lewat hasil tani, dan semakin sadar bahwa sepenuhnya kita bergantung pada alam yg sayangnya terus kita rusak,” katanya.

Dipa mengatakan alasannya untuk bertani, salah satunya adalah untuk mencari sumber mata pencaharian yang halal dan berkah. Selain itu karena ia merasa hidup ini singkat, dan amat sayang hanya lahir untuk turut merusak bumi dan seisinya.

“Di situ aku merasa lewat bertani, apalagi dengan prinsip “Agroekologi”, mungkin aku bisa hidup tanpa menimbulkan banyak mudharat,” tulisnya.

Dipa pun memberikan pesan bagi generasi milenial yang ingin mengikuti jejaknya. “Biasanya yang sering dipikir dulu adalah soal sumber daya material: skala usaha, lahan, modal awal dan lain-lain. Padahal selain aspek tadi, sumber daya pengetahuan dan jaringan juga amat penting. Memang untuk mulai bertani perlu sumber daya material. Tapi kalau dirasa belum cukup, kita bisa mulai dari sumber daya lain, baik itu pengetahuan atau “network” kita. Nah satu hal penting, dalam pemenuhan sumber daya tadi akan jauh lebih mudah ketika dilakukan bersama-sama. Nek dewean yo pasti klenger. Aku ngerasa banget punya jejaring pengetahuan dari @Sektimuda, sebagai modal yang bener-bener mendukung. Ternyata dengan niat bertani meski ga ada uang tetep bisa. Banyak jalan menuju Roma!” ujarnya.

Baca juga

Leave a Comment