Home » Di Balik Layar Pembuatan Film Penuh Tekanan di Institut STTS

Di Balik Layar Pembuatan Film Penuh Tekanan di Institut STTS

by admin
Bikin film layar lebar di Institur STTS

Dunia perfilman seringkali terlihat glamor, namun di baliknya tersimpan kerja keras, tekanan, dan pembelajaran intensif. Video BroFist (Bincang Rame Ngobrolin Film di Institut STTS) terbaru dari Institut STTS mengajak kita menyelami proses ini melalui kisah pembuatan film “The Seller” yang disutradarai oleh Bu Fara, lengkap dengan cerita dari alumni, Kelso dan Hendri, yang terlibat langsung dalam proyek tersebut.

Bagi Hendri dan Kelso, terjun ke proyek film bersama Bu Fara terasa seperti sebuah “culture shock”. Mereka mengakui betapa menuntutnya aspek teknis dalam pembuatan film. Namun, mereka juga menekankan bahwa ilmu yang didapat selama kuliah sangat relevan dan berharga di dunia kerja nyata. Kelso bahkan merasakan tekanan di lokasi syuting mirip dengan intensitas kelas Bu Fara, yang ternyata menjadi bekal persiapan yang baik.

“The Seller”: Proyek Unik Penuh Tantangan

Bu Fara menceritakan tentang filmnya, “The Seller”. Ini bukan film biasa, melainkan sebuah dokumenter bergaya reality show yang mengikuti kompetisi di antara anggota TNI AL. Awalnya direncanakan untuk YouTube, proyek ini berkembang menjadi rilis bioskop atas permintaan klien. Yang mengejutkan, seluruh produksi film ini diselesaikan hanya dalam 10 hari, dengan waktu syuting efektif hanya 4 hari. Produksi ini melibatkan kru besar sekitar 50-60 orang, 30 kamera, dan anggaran awal sekitar 550-600 juta Rupiah sebelum ditingkatkan untuk bioskop.

Tantangan datang silih berganti. Tim harus mengelola data masif berukuran 6-9 terabyte dan bekerja di bawah tenggat waktu yang sangat ketat [11:27]. Hendri mengenang rasa gentarnya saat pertama kali bekerja dengan tim produksi senior. Di sisi lain, Bu Fara memuji kemampuan timnya dalam menangani tekanan dan menghasilkan karya berkualitas tinggi.

Kelso, yang berperan sebagai desainer permainan (game designer), harus cepat belajar fungsi simulator dan menengahi konflik antara tim teknis dan operasional. Sementara Hendri, sebagai pewawancara dan asisten sutradara, harus beradaptasi mewawancarai banyak orang dan memastikan semua rekaman yang dibutuhkan untuk alur cerita berhasil didapatkan.

Proses Kreatif yang Spontan

Bu Fara menyoroti proses kreatif kolaboratif. Tim memprofilkan 108 peserta untuk mengidentifikasi karakter kunci dan alur cerita potensial. Narasi film berkembang secara organik, tim harus beradaptasi dengan kejadian tak terduga dan membuat keputusan spontan di lokasi syuting .

Bagi para mahasiswa yang bercita-cita menjadi sineas, Bu Fara berpesan untuk mengejar passion dan mencari pengalaman sebanyak mungkin, misalnya melalui magang. Ia menekankan banyaknya peran dalam industri film dan mendorong mahasiswa untuk menjelajahi berbagai bidang.

Merenungkan proyek ini, Bu Fara mengakui tantangan dalam pembuatan film dokumenter namun bangga dengan kemampuan timnya memberikan hasil luar biasa di bawah tekanan . Kelso dan Hendri pun berbagi cerita tentang keraguan awal mereka yang berubah menjadi kepuasan atas kontribusi mereka, membuktikan pentingnya keluar dari zona nyaman.

Baca juga

Leave a Comment