Jatinangor, sebuah nama yang kian akrab di telinga Ganesha Muda. Kawasan yang dulunya mungkin terasa jauh dari hiruk pikuk Jalan Ganesha, kini bertransformasi menjadi kanvas baru bagi ribuan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebagai “Off-G Campus” pertama , ITB Jatinangor hadir bukan hanya sebagai solusi atas kepadatan kampus utama, tetapi juga sebagai pusat pengembangan life science yang menjanjikan. Di sinilah, di tengah hamparan hijau dan udara yang lebih sejuk, babak baru kehidupan akademis dimulai, terutama bagi mereka yang menjalani Tahap Persiapan Bersama (TPB). “Menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi impian banyak siswa Indonesia. Bergabung dalam perguruan tinggi ini adalah suatu kebanggaan tersendiri,” sebuah sentimen yang kerap terdengar , dan Jatinangor kini menjadi gerbang awal bagi banyak dari mereka untuk merasakan kebanggaan itu. Pengalaman formatif tahun pertama yang dijalani di sini, dengan suasana yang berbeda, tak pelak menciptakan sub-kultur dan identitas awal yang khas Jatinangor. Â
Menjelajah Wajah Kampus: Modernitas Berpadu Keasrian Alam
Melangkahkan kaki di ITB Jatinangor serasa memasuki sebuah oase. Suasana kampus yang bersih, asri, dengan limpahan ruang terbuka hijau, danau yang menenangkan, serta pepohonan rindang menciptakan lingkungan yang sangat kondusif untuk belajar. Seperti yang diungkapkan seorang dosen, “Suasana kampus Jatinangor yang sepi, tenang, dan rindang pepohonan, memang sangat mendukung untuk belajar”. Kesaksian ini diamini oleh Febby, mahasiswa Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM), yang menjadikan danau sebagai tempat bersantainya.
Di tengah keasrian tersebut, berdiri kokoh gedung-gedung modern yang menjadi pusat aktivitas akademik. Sebut saja Gedung KOICA yang berdesain futuristik dan Gedung Kuliah Umum (GKU) yang selalu ramai oleh lalu lalang mahasiswa. Fasilitas penunjang pun tak kalah lengkap. Kantin tidak hanya berfungsi sebagai tempat mengisi perut, tetapi juga ruang interaksi sosial. “Fasilitas kantin yang didesain sedemikian rupa untuk kenyamanan dengan memperhatikan kebersihan, menu yang higienis dan penuh nutrisi,” menjadi standar yang dijaga.
Kehidupan di asrama mahasiswa menjadi babak penting lainnya. Bagi banyak mahasiswa TPB, asrama adalah rumah pertama mereka di perantauan, tempat menempa kemandirian, karakter, dan rasa kekeluargaan. Indri Yossiva, mahasiswa SITH-R angkatan 2023, merasakan betul manfaatnya. “Tinggal di asrama memberikannya kesempatan untuk lebih mengenal kehidupan di Bandung dan bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah, sehingga memperluas lingkaran pertemanannya,” ujarnya. Kehadiran Tutor Asrama yang siap membantu juga menjadi nilai tambah. Tak ketinggalan, sarana ibadah seperti Masjid Al-Jabbar, fasilitas olahraga, perpustakaan digital, dan laboratorium turut melengkapi denyut kehidupan kampus. Keseimbangan antara ketenangan untuk fokus belajar dan fasilitas komunal untuk berinteraksi inilah yang membuat ITB Jatinangor memiliki ekosistem unik, mendukung pengembangan akademis tanpa mengorbankan aspek sosial mahasiswa.
Denyut Nadi Kehidupan Mahasiswa: Antara Buku, Tawa, dan Asa
Dinamika akademis di Jatinangor memiliki warna tersendiri. Pengalaman menjalani TPB di sini menjadi gerbang adaptasi dengan sistem belajar ITB yang menantang. Josephine Angie Kristoforus (Angie) dari Fakultas Teknologi Industri (FTI) berbagi, “Ia merasa bahagia dan bangga bisa menempuh studi di kampus terbaik yang sudah menjadi impiannya. Ia menyadari bahwa adaptasi dengan lingkungan pertemanan dan akademis yang berbeda dengan masa sekolah memerlukan usaha lebih.”. Interaksi dengan dosen yang suportif dan suasana kelas yang kondusif turut membantu proses adaptasi ini.
Keseharian mahasiswa Jatinangor tak hanya diisi dengan buku dan tugas. Kehidupan asrama yang komunal memungkinkan mereka untuk “belajar bersama, berkolaborasi, dan berinteraksi dengan teman seasrama”. Aktivitas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan himpunan jurusan juga tetap semarak, menjadi wadah penyaluran minat dan bakat. Dari Lingkung Seni Sunda (LSS) hingga Unit Kesenian Sumatera Utara (UKSU), beragam pilihan tersedia bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri di luar kelas. Saat penat melanda, berbagai kafe di sekitar Jatinangor seperti Kopi Setia Jatinangor, Djoeroe Coffee, dan Backspace Cafe menjadi tempat favorit untuk “nongkrong” atau sekadar melepas lelah.
Tentu, ada suka dan duka yang mewarnai perjalanan ini. Adaptasi dengan lingkungan baru, jauh dari keluarga, menjadi tantangan tersendiri. Mengelola waktu antara tuntutan akademis, kegiatan organisasi, dan kehidupan pribadi juga membutuhkan kelihaian. Belum lagi pertimbangan biaya hidup, mulai dari biaya kost yang berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1.500.000 per bulan, biaya makan sekitar Rp 800.000 hingga Rp 1.500.000 per bulan, dan transportasi. Namun, justru berbagai tantangan inilah yang menempa mahasiswa Jatinangor menjadi pribadi yang lebih mandiri, adaptif, dan tangguh. Jatinangor, dengan segala dinamikanya, menjadi semacam laboratorium kehidupan mini yang mempercepat proses pendewasaan.
Suara Mahasiswa: Jatinangor di Mata Mereka
Pengalaman di ITB Jatinangor terukir beragam dalam benak para mahasiswanya. Salsabilla Febrianti (Febby) dari FTTM 2024, yang berjuang meraih beasiswa demi meringankan beban ibunya, menemukan ketenangan di tepi danau kampus saat dirundung penat. Baginya, “Kuliah itu penting banget buat 5-10 tahun ke depan.” Pesannya sederhana namun mendalam, “Jangan ragu untuk mengeksplorasi minatmu, berkolaborasi dengan teman-teman, dan terus berusaha. Setiap kesulitan adalah kesempatan untuk tumbuh.”.
Senada dengan Febby, Angie dari FTI merasakan kebahagiaan bisa berkuliah di kampus impiannya. Ia menekankan pentingnya belajar bersama teman untuk menghadapi tantangan adaptasi akademis. “Semangat terus dan jangan pernah menyerah ya. Walaupun berat, ini adalah bagian dari perjalanan kita,” tuturnya menyemangati. Sementara itu, Muhammad Ali Al Kaff dari Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) mengapresiasi fasilitas kampus seperti GKU 1, Student Lounge, dan inovasi water refill yang sangat membantu.
Dari sudut pandang mahasiswa STEI, seperti yang diceritakan seorang dosen, mereka merasa “hepi-hepi saja” dan betah kuliah di Jatinangor karena suasananya yang mendukung untuk belajar: sepi, tenang, dan rindang. Mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) juga merasakan atmosfer belajar yang positif dengan dosen yang kompeten dan ramah, meskipun ada harapan untuk peningkatan fasilitas laboratorium. Narasi kolektif ini, meski diwarnai tantangan, menunjukkan ketangguhan dan optimisme mahasiswa dalam menemukan makna dan dukungan di lingkungan belajar Jatinangor.
Penutup: Jatinangor, Lebih dari Sekadar Kampus
ITB Jatinangor, dengan perpaduan fasilitas modern, lingkungan alam yang menyejukkan, dan komunitas mahasiswa yang dinamis, telah membuktikan dirinya sebagai lebih dari sekadar kampus cabang. Ia adalah rahim bagi lahirnya Ganesha Muda yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi masa depan. Semangat “Setiap kesulitan adalah kesempatan untuk tumbuh” yang digaungkan mahasiswanya menjadi bukti bahwa Jatinangor adalah tempat menempa diri, merajut persahabatan, dan mengukir asa. Keberadaan dan terus berkembangnya kampus ini juga menjadi simbol bagaimana sebuah institusi pendidikan besar seperti ITB terus beradaptasi dan memperluas dampaknya, menawarkan model pengembangan multikampus yang inspiratif bagi kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia. Bagi calon Ganesha Muda, ITB Jatinangor membuka pintunya lebar-lebar, menjanjikan sebuah perjalanan akademis dan personal yang tak terlupakan.