Pernah nggak sih, kamu merasakan sensasi horor saat cek saldo e-wallet atau dompet di pertengahan bulan? Angka yang muncul bikin jantung deg-degan, sementara tanggal gajian atau kiriman berikutnya masih terasa seperti fatamorgana di padang gurun. Kalau iya, kamu nggak sendirian. Kenalan yuk sama Rani, mahasiswi semester 4 yang dulu juga akrab banget sama drama “tanggal tua”. Dan inilah panduan keuangan mahasiswa ala Rani.
Derita Klasik Mahasiswa
Rani, seperti kebanyakan dari kita, awalnya menjalani hidup dengan prinsip “yang penting hari ini happy”. Uang kiriman datang, rasanya jadi sultan sehari. Nongkrong di kafe hits bareng teman? Gas! Beli buku referensi baru (padahal yang lama belum tamat dibaca)? Bungkus! Langganan streaming A, B, C? Centang semua! Pokoknya, YOLO (You Only Live Once) jadi semboyan.
Tapi, kesenangan itu seringkali berumur pendek. Dua minggu setelah kiriman datang, Rani mulai merasakan gejala klasik:
- Makan siang mulai didominasi mi instan berbagai rasa (atau nasi lauk kerupuk).
- Ajakan nongkrong dijawab dengan, “Maaf, lagi banyak tugas,” (padahal aslinya bokek).
- Transportasi mulai beralih ke opsi paling murah, bahkan rela jalan kaki lebih jauh.
Rani sering merasa stres. Tekanan finansial itu nyata. Bukan cuma soal nggak bisa jajan enak, tapi juga khawatir nggak bisa bayar uang print, beli kuota buat tugas, atau bahkan ongkos pulang kampung nanti. “Masa sih, hidup mahasiswa harus gini terus?” gumamnya suatu malam sambil menatap langit-langit kamar kosannya yang mulai kusam.
Momen Pencerahan dan Aksi Nyata
Titik baliknya datang saat Rani ngobrol sama seniornya, Kak Bima, yang kelihatan santuy banget soal duit. “Gue bukan kaya, Ran,” kata Kak Bima sambil nyeruput es teh, “Tapi gue berusaha kenal sama duit gue sendiri.”
Kata-kata “kenal sama duit sendiri” itu menampar Rani. Selama ini, dia nggak pernah benar-benar tahu uangnya lari ke mana saja. Malam itu, berbekal buku catatan dan tekad baja (oke, mungkin sedikit nekat), Rani mulai melakukan sesuatu yang selama ini dia hindari: membuat anggaran.
Dia catat semua pemasukan (kiriman ortu) dan perkiraan pengeluaran wajib: kosan, transport, kuota, makan pokok. Lalu, dia coba ingat-ingat pengeluaran nggak wajib bulan lalu: jajan kopi kekinian, nonton bioskop, thrift shopping, langganan ini-itu. Hasilnya? Jreng jreng… Rani kaget melihat betapa besar porsi “pengeluaran nggak penting” dalam hidupnya.
Dari situ, Rani mulai makeover keuangannya:
- Anggaran Jadi Kompas: Dia bikin pos-pos pengeluaran: Wajib (kos, makan pokok, transport, kuota), Kebutuhan Studi (buku, print), Hiburan/Sosial (maksimal sekian rupiah!), dan wajib banget: Tabungan (meskipun awalnya cuma 20 ribu seminggu!).
- Jurus Hemat Harian:
- Misi Bawa Bekal: Rani mulai rajin bawa bekal masakan simpel dari kosan. Lumayan banget hematnya!
- Filter Keinginan vs Kebutuhan: Sebelum beli sesuatu, dia tanya diri sendiri, “Butuh banget atau cuma pengen?”
- Berburu Promo Cerdas: Manfaatin diskon mahasiswa atau promo cashback buat barang yang memang dibutuhkan.
- Hiburan Murah Meriah: Nonton film di laptop bareng teman kos, jalan-jalan ke taman kota, atau ikut acara kampus gratisan jadi pilihan.
- Audit Langganan: Dia stop langganan streaming yang jarang ditonton.
Mencari Sumber Cuan Tambahan
Meski sudah berhemat, Rani sadar uang kirimannya pas-pasan. Dia butuh penghasilan tambahan. Awalnya ragu, takut ganggu kuliah. Tapi Kak Bima lagi-lagi kasih semangat, “Banyak kok caranya, yang penting bisa atur waktu.”
Rani mulai menjelajah:
- Kerja Paruh Waktu: Dia coba melamar jadi barista di kedai kopi dekat kampus beberapa jam seminggu.
- Magang Berbayar: Dia cari info magang yang sesuai jurusannya dan ada uang sakunya. Meskipun nggak besar, lumayan buat nambah pengalaman dan isi dompet.
- Manfaatin Skill: Rani yang hobi nulis coba menawarkan jasa penulisan artikel ringan atau jadi admin media sosial untuk usaha kecil temannya.
Awalnya nggak mudah membagi waktu antara kuliah, tugas, dan kerja sampingan. Tapi, rasa puas saat menerima gaji pertama hasil keringat sendiri? Wah, nggak ternilai! Uang itu nggak langsung dihamburkan, sebagian besar masuk ke pos tabungan atau untuk kebutuhan penting.
Menatap Masa Depan (Nggak Cuma Besok)
Sekarang, Rani mungkin belum jadi miliarder. Tapi dia jauh lebih tenang. Dia tahu ke mana uangnya pergi, punya dana darurat kecil-kecilan, dan bahkan mulai kepikiran rencana keuangan mahasiswa sederhana – misalnya, nabung buat beli laptop baru atau ikut kursus online buat nambah skill.
Dia sadar, mengelola keuangan pribadi itu bukan cuma soal angka, tapi soal kebiasaan dan pola pikir. Ini tentang mengambil kendali atas hidupmu, sekecil apa pun sumber dayamu saat ini.
Buat Kamu, Mahasiswa Pejuang Tanggal Tua:
Cerita Rani ini bukan dongeng. Tekanan finansial itu nyata, tapi bukan berarti kita nggak berdaya. Kamu juga bisa kok, mulai susun panduan keuangan mahasiswa sekarang:
- Kenali Duitmu: Bikin anggaran sederhana. Catat pemasukan dan pengeluaran. Jujur sama diri sendiri!
- Bijak Belanja: Bedakan keinginan dan kebutuhan. Terapkan tips hemat yang paling cocok buatmu.
- Cari Peluang: Jangan ragu cari penghasilan tambahan. Kerja paruh waktu, magang, freelance, jualan online – banyak jalan!
- Mulai Menabung: Sekecil apa pun, sisihkan! Buat tujuan keuangan yang jelas (dana darurat, beli sesuatu, dll).
- Jangan Malu Bertanya: Ngobrol sama teman, senior, atau baca artikel kayak gini buat nambah wawasan.
Mengelola keuangan selagi mahasiswa itu investasi buat masa depan. Memang butuh usaha, tapi percayalah, ketenangan pikiran dan rasa in control itu worth it banget! Yuk, mulai jinakkan dompetmu hari ini!
