SuaraKampus.ID – Matahari belum sepenuhnya terik di Desa Pahlawan, Kecamatan Karang Baru, namun lumpur sisa banjir bandang masih terasa lengket di sela-sela sepatu bot para relawan. Di tengah suasana yang masih diselimuti duka, sekelompok mahasiswa dengan jaket khas organisasi pecinta alam tampak sibuk memindahkan karung-karung beras dari bak kendaraan.
Mereka adalah para anggota Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) PALAWA Universitas Padjadjaran (Unpad). Jauh-jauh datang dari Jatinangor, Jawa Barat, kehadiran mereka di Kabupaten Aceh Tamiang bukan untuk mendaki puncak gunung, melainkan untuk menunaikan panggilan kemanusiaan bagi warga Sumatera yang terdampak bencana.
Panggilan dari Balik Reruntuhan
Tragedi itu bermula pada Rabu, 26 November lalu. Hujan deras yang mengguyur wilayah Sumatera memicu banjir bandang dan tanah longsor yang menyapu pemukiman. Sejak saat itu, ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka yang hancur atau terendam, mencari perlindungan di posko-posko pengungsian yang serba terbatas.
“Mereka mengungsi semenjak kejadian bencana banjir bandang dan longsor pada Rabu (26/11),” ujar salah satu koordinator lapangan dari PALAWA Unpad seperti dilansir Antara.
Bagi para mahasiswa ini, jarak ribuan kilometer bukan penghalang. Begitu mendengar kabar duka dari tanah Sumatera, mesin solidaritas di kampus Unpad langsung bergerak. Bersama Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unpad, mereka menggalang kekuatan untuk memastikan bantuan sampai ke titik yang paling membutuhkan.
Sinergi Tanpa Batas
Aksi PALAWA Unpad di Aceh Tamiang bukan sekadar bagi-bagi logistik. Ada proses koordinasi yang panjang di baliknya. Menyadari keterbatasan medan, mereka menggandeng rekan-rekan mahasiswa pecinta alam (Mapala) lokal yang lebih memahami anatomi wilayah Aceh.
“Kami berkoordinasi dengan Mapala di Aceh untuk penyaluran bantuan ini,” jelas perwakilan tim. Sinergi lintas kampus ini menjadi kunci agar bantuan berupa bahan pokok, terutama beras, dapat tersebar merata ke kantong-kantong pengungsian yang sulit dijangkau.
Di Desa Pahlawan, bantuan beras diserahkan langsung kepada warga. Bagi pengungsi, butiran beras itu lebih dari sekadar makanan; itu adalah simbol bahwa mereka tidak sendirian menghadapi dinginnya malam di pengungsian.
Bukan Sekadar Organisasi Hobi
Kehadiran PALAWA Unpad di lokasi bencana mempertegas kembali peran mahasiswa pecinta alam yang seringkali disalahartikan hanya sekadar organisasi hobi atau petualangan fisik. Di Aceh Tamiang, mereka membuktikan bahwa “cinta alam” juga berarti mencintai sesama manusia yang hidup di dalamnya.
Kerja sama antara mahasiswa aktif, alumni (IKA Unpad), dan komunitas lokal seperti BBMC menunjukkan bahwa penanggulangan bencana memerlukan napas panjang dan gotong royong yang solid. Posko-posko bantuan yang didirikan bukan sekadar tempat penyimpanan barang, melainkan ruang hangat bagi koordinasi kemanusiaan.
Saat senja mulai turun di Aceh Tamiang, tugas para mahasiswa ini belum usai. Masih ada titik-titik lain yang menanti sentuhan bantuan. Namun, dari langkah kaki mereka di tanah Aceh, tersirat sebuah pesan kuat bagi seluruh civitas akademika: bahwa ilmu dan kepedulian harus melampaui batas pagar kampus, bahkan hingga ke seberang lautan.
- Menanam Harapan di Desa Berekah, Kala Mahasiswa Magister Hukum Nusa Putra Turun ke Bumi
- Terang di Lereng Semeru, Inovasi Mahasiswa UM Surabaya Menghidupkan Harapan di Supiturang
- Menanam Masa Depan, Seribu Pohon Bersemi di Jantung Kampus USU
- Mahasiswa ITB Menyulap Ampas Tebu dan Sabut Kelapa Menjadi BioKertas
- 10 Mahasiswa Peraih Medali Emas di SEA Games 2025
- Perjuangan Mahasiswa USK Menjangkau ‘Desa yang Terlupakan’ di Aceh Tengah
