SuaraKampus.ID – Di tangan sebagian orang, ampas tebu sisa perasan es di pinggir jalan dan sabut kelapa yang menumpuk di pasar mungkin hanyalah sampah yang menunggu busuk. Namun, bagi Muhammad Labib Widianto dan rekan-rekannya di Program Studi Teknik Bioenergi dan Kemurgi Institut Teknologi Bandung (ITB), tumpukan limbah organik itu adalah “harta karun” yang tersembunyi.
Di sebuah sudut laboratorium ITB Kampus Jatinangor, mereka sibuk meramu sebuah inovasi. Bukan mesin canggih yang rumit, melainkan sebuah solusi atas persoalan lingkungan yang kian mendesak. Mereka menamainya: BioKertas.
Lahir dari Kegelisahan Lingkungan
Inovasi ini berawal dari pengamatan sederhana terhadap melimpahnya limbah organik di sekitar yang kerap terabaikan. Labib, yang bertindak sebagai koordinator tim, melihat potensi besar pada serat ampas tebu dan sabut kelapa untuk diolah kembali menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi.
“Inovasi BioKertas ini adalah pembuatannya berbahan dasar dari penggabungan dua limbah organik yaitu ampas tebu dan sabut kelapa yang masih banyak tidak terpakai,” jelas Labib dengan semangat saat menjelaskan latar belakang riset mereka.
Berbeda dengan kertas daur ulang biasa yang umumnya menggunakan bahan kertas bekas, BioKertas menawarkan sesuatu yang baru. Kertas ini lahir dari kombinasi serat alami yang memberikan tekstur unik dan daya tahan yang berbeda dari kertas konvensional.
Perjalanan di Balik Lembar Kertas
Proses menciptakan selembar BioKertas bukanlah perkara instan. Labib menceritakan betapa telatennya mereka dalam melewati setiap tahapan. Dimulai dari menjemur ampas tebu dan sabut kelapa di bawah terik matahari untuk memastikan kadar airnya hilang, hingga memotongnya menjadi bagian-bagian kecil agar mudah diproses.
Bahan-bahan tersebut kemudian direbus selama 30 menit, dicampur dengan larutan NaOH dan alkohol untuk memisahkan seratnya, hingga akhirnya dihaluskan menjadi bubur kertas atau pulp. Namun, tantangan sesungguhnya ada pada detail.
“Tantangan dalam proses pembuatannya terutama pada proses pemasakan yang volume airnya harus presisi,” ungkap Labib. Ia juga menambahkan bahwa ketergantungan pada sinar matahari membuat proses pengeringan sering kali terhambat jika cuaca tidak bersahabat.
Setelah menjadi bubur, mereka mencampurnya dengan larutan pengental dari tapioka dan kaolin sebelum akhirnya dicetak menjadi lembaran. Hasilnya adalah kertas yang cukup kokoh untuk ditulisi dengan pulpen normal, namun tetap memiliki kesan estetik organik.

Dari Pameran Menuju Industri
Karya ini bukan sekadar tugas kuliah yang berakhir di meja dosen. BioKertas menjadi salah satu primadona dalam pameran bertajuk “ALICE: Abyanara’s Legendary Imagination, Creativity, and Enchantment”. Melalui acara ini, Labib dan tim ingin menunjukkan kepada dunia luar—dan rekan mahasiswa lainnya—bahwa limbah bisa berubah menjadi sesuatu yang “ajaib” jika disentuh dengan kreativitas dan sains.
Meski sudah berhasil menghasilkan lembaran kertas multifungsi, Labib mengaku perjalanan mereka masih panjang. Mereka tidak ingin berhenti di tahap prototipe saja.
“Belum dilakukan uji tarik dan tahan terhadap BioKertas. Untuk kemasan pangan juga harus dikembangkan lebih lanjut agar bahannya aman,” tutur Labib mengenai peta jalan riset mereka ke depan.
Target mereka jelas: BioKertas tidak hanya menjadi kertas tulis, tetapi bisa merambah ke industri kemasan makanan (food packaging) yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Di tengah krisis iklim dan isu tumpukan sampah plastik, inovasi dari kampus ini seperti membawa embusan angin segar. Dari ampas tebu dan sabut kelapa, mahasiswa ITB ini membuktikan bahwa masa depan hijau bisa dimulai dari hal-hal kecil yang sering kita buang.
- Menanam Harapan di Desa Berekah, Kala Mahasiswa Magister Hukum Nusa Putra Turun ke Bumi
- Terang di Lereng Semeru, Inovasi Mahasiswa UM Surabaya Menghidupkan Harapan di Supiturang
- Menanam Masa Depan, Seribu Pohon Bersemi di Jantung Kampus USU
- Mahasiswa ITB Menyulap Ampas Tebu dan Sabut Kelapa Menjadi BioKertas
- 10 Mahasiswa Peraih Medali Emas di SEA Games 2025
- Perjuangan Mahasiswa USK Menjangkau ‘Desa yang Terlupakan’ di Aceh Tengah
