Bagaimana tekanan perkuliahan dapat memicu masalah kesehatan mental pada mahasiswa, namun dengan mengatasi stigma dan memanfaatkan sumber daya seperti konseling kampus, pemulihan dan harapan dapat ditemukan.
Gerbang megah universitas negeri ternama itu seolah menjadi simbol pintu menuju masa depan cerah bagi Budi. Diterima di jurusan impiannya, ia merasakan gelombang kebanggaan dan antusiasme yang meluap. Senyum tak henti mengembang, membayangkan kehidupan kampus yang penuh dinamika, teman-teman baru, dan ilmu pengetahuan yang akan membuka cakrawala. Orang tuanya di kampung menelepon hampir setiap hari, suara mereka sarat harapan agar Budi, anak kebanggaan keluarga, bisa meraih prestasi gemilang dan mengangkat derajat keluarga.
Budi sendiri, seorang pemuda cerdas dan ambisius, memikul ekspektasi itu di pundaknya, bertekad membuktikan bahwa ia layak berada di sana. Ia ingin menjadi mahasiswa ideal, sosok yang tidak hanya pintar secara akademik tapi juga aktif berkontribusi, layaknya “agen perubahan” yang sering didengungkan.
Namun, realitas seringkali tak seindah ekspektasi. Semangat awal Budi perlahan terkikis oleh kenyataan kehidupan kampus yang ternyata jauh lebih menantang dari bayangannya. Dunia perkuliahan menuntut kedisiplinan diri yang tinggi, sesuatu yang masih coba Budi bangun. Beban tugas kuliah mulai terasa menumpuk seperti gunung. Setiap minggu, ada saja makalah, presentasi kelompok, atau laporan praktikum yang harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang terasa begitu singkat.
Materi kuliah pun terasa lebih kompleks, membutuhkan usaha ekstra untuk dipahami di tengah jadwal yang padat. Sistem penilaian yang kompetitif menambah tekanan; rasanya setiap nilai menjadi pertaruhan harga diri dan pembuktian ekspektasi. Budi mulai merasa kewalahan, sulit menyeimbangkan antara jam kuliah, mengerjakan tugas hingga larut malam, dan mencoba ikut beberapa kegiatan organisasi untuk menambah pengalaman.
Di sisi sosial, adaptasi juga tidak semudah membalik telapak tangan. Lingkungan kampus yang begitu beragam, mempertemukannya dengan mahasiswa dari berbagai latar belakang, membuatnya merasa sedikit gamang. Ia melihat teman-teman lain tampak begitu mudah bergaul, cepat menemukan kelompoknya, aktif di berbagai kegiatan, dan sepertinya selalu mengerti materi kuliah dengan mudah. Perasaan insecure dan perbandingan sosial mulai merayapinya. Kadang, di tengah keramaian kantin atau perpustakaan, Budi justru merasa kesepian, merindukan suasana rumah dan teman-teman SMA yang lebih akrab.
Jurang antara harapan dan kenyataan inilah yang mulai memicu badai kecil di kepala Budi. Ekspektasi tinggi dari orang tua dan dirinya sendiri untuk sukses, ditambah peran ideal mahasiswa sebagai agen perubahan, terasa kontras dengan realitas sehari-hari yang penuh perjuangan menghadapi beban akademik dan adaptasi sosial. Beban ini terasa semakin berat, menjadi fondasi bagi awan mendung yang mulai menggayut.
Tekanan yang terus menerus itu tak lagi hanya terasa di pikiran, tetapi mulai merembes ke dalam emosi, fisik, dan perilakunya sehari-hari. Langit cerah antusiasme Budi perlahan berubah mendung.
Secara psikis, Budi menjadi lebih sensitif. Hal-hal kecil yang dulu mungkin ia abaikan, kini bisa memicu rasa frustrasi atau kemarahan. Misalnya, ketika ia merasa hasil tugas kelompoknya tidak maksimal, ia bisa tiba-tiba membentak teman sekelompoknya. Suasana hatinya menjadi rollercoaster; pagi bisa merasa cukup bersemangat, siang hari tiba-tiba merasa murung dan cemas tanpa sebab yang jelas.6 Nilai kuis yang sedikit di bawah ekspektasi bisa membuatnya merasa gagal total dan tidak berharga. Kekhawatiran akan masa depan, tugas yang belum selesai, atau penilaian orang lain membuatnya sulit merasa tenang.
Secara fisik, dampaknya juga mulai terasa. Malam hari menjadi waktu yang paling menyiksa. Pikirannya terus berputar, memikirkan tumpukan tugas, presentasi esok hari, atau percakapan canggung dengan teman tadi siang. Akibatnya, ia seringkali sulit tidur atau tidurnya tidak nyenyak (insomnia). Kadang, ia justru tidur sangat lama di akhir pekan, namun bangun tetap dengan perasaan lelah dan tidak segar. Nafsu makannya pun terganggu; seringkali ia melewatkan jam makan karena merasa tidak lapar, atau sebaliknya, ia makan camilan manis secara berlebihan di depan laptop sebagai pelarian saat merasa stres. Sakit kepala dan rasa tidak nyaman di perut juga mulai sering datang tanpa diundang.
Kemampuan kognitifnya pun menurun. Budi merasa sulit berkonsentrasi saat dosen menerangkan di kelas. Pikirannya mudah melayang ke hal lain, terutama kekhawatiran-kekhawatirannya. Ia menjadi lebih pelupa, seringkali melewatkan informasi penting atau lupa di mana menaruh kunci kamar kos. Pikiran-pikiran negatif mulai mendominasi: “Aku pasti tidak akan lulus mata kuliah ini,” “Semua orang lebih pintar dariku,” “Aku mengecewakan orang tua”.
Perubahan paling kentara terlihat pada perilakunya. Budi yang dulu cukup ramah dan aktif, kini cenderung menarik diri. Ia mulai sering menolak ajakan teman untuk makan bareng atau sekadar nongkrong, lebih memilih menghabiskan waktu sendirian di kamar kos. Undangan rapat UKM yang dulu ia tunggu-tunggu, kini terasa membebani. Ia juga mulai sering menunda-nunda mengerjakan tugas (prokrastinasi) karena merasa terlalu overwhelmed dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Pernah suatu malam, Budi hanya duduk menatap layar laptop yang menampilkan halaman kosong dokumen tugas selama hampir dua jam. Jari-jarinya kaku, otaknya buntu. Di lain waktu, seorang teman akrabnya bertanya “Kok murung terus, Bud? Ada masalah?”, Budi malah menjawab ketus, “Bukan urusanmu!” membuat temannya terkejut dan menjauh. Gejala-gejala ini—sulit tidur, mudah marah, sulit fokus, menarik diri—awalnya mungkin dianggap Budi sebagai “stres biasa” yang dialami semua mahasiswa baru yang sedang beradaptasi dengan tekanan akademik. Ia menepisnya, berpikir “Ah, cuma capek aja,” atau “Nanti juga biasa.”
Namun, ketika gejala-gejala ini mulai mengganggu kemampuannya untuk belajar secara efektif, merusak hubungannya dengan teman, dan membuatnya kehilangan minat pada hal-hal yang dulu ia nikmati, seharusnya ini menjadi tanda bahaya (red flag) bahwa ini bukan sekadar stres biasa yang bisa diabaikan.
Bisikan Stigma dan Tembok Keengganan
Di tengah pergulatannya melawan tekanan dan gejala-gejala yang muncul, Budi juga harus berhadapan dengan musuh tak kasat mata: stigma. Bisikan-bisikan negatif, baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitar, membangun tembok tinggi yang membuatnya enggan mencari pertolongan.
Dari dalam dirinya, Budi merasa malu mengakui bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Ia takut dianggap lemah, manja, atau tidak mampu menghadapi tantangan kehidupan mahasiswa yang seharusnya ia jalani dengan gagah berani. Pikiran seperti, “Masa begini saja aku menyerah?”, “Teman-teman lain kelihatannya baik-baik saja, kenapa aku tidak?”, atau “Aku sudah beruntung bisa kuliah di sini, tidak pantas mengeluh,” terus menghantuinya. Ini adalah bentuk self-stigma, di mana ia menghakimi dirinya sendiri karena mengalami kesulitan mental.
Stigma ini diperkuat oleh lingkungan sekitarnya, meskipun mungkin tidak selalu disengaja. Ia pernah mendengar seniornya nyeletuk saat melihat adik tingkat yang tampak stres, “Jadi mahasiswa jangan cengeng, lah!” Atau ketika ia mencoba curhat sedikit pada teman kosnya tentang sulit tidur, temannya malah menjawab, “Mungkin kamu kurang ibadah, coba sholat tahajud.” Komentar-komentar semacam ini, ditambah dengan pengamatannya bahwa teman-teman yang menunjukkan tanda-tanda stres terkadang dijauhi atau menjadi bahan pembicaraan di belakang, membuatnya semakin takut untuk terbuka. Ia khawatir akan mendapatkan stereotip negatif—dianggap ‘aneh’, ‘bermasalah’, atau bahkan ‘gila’—dan didiskriminasi oleh teman-temannya.
Di Indonesia, stigma terkait kesehatan mental seringkali memiliki lapisan yang lebih kompleks, dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial. Tekanan untuk selalu tampil kuat, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain sangat kental terasa. Membicarakan masalah pribadi atau kesulitan emosional dianggap tabu bagi sebagian orang. Lebih jauh lagi, masalah kesehatan mental kadang masih sering dikaitkan dengan hal-hal spiritual, seperti ‘kurang iman’ atau ‘kerasukan’, yang menambah beban rasa bersalah dan malu bagi individu yang mengalaminya. Budi merasakan lapisan-lapisan stigma ini, membuatnya semakin terisolasi dalam kesulitannya.
Kombinasi antara stigma internal (rasa malu, takut dianggap lemah) dan stigma eksternal (takut dihakimi, dijauhi, dikaitkan dengan hal negatif) inilah yang menjadi penghalang utama bagi Budi untuk mencari bantuan. Jangankan ke profesional seperti psikolog atau konselor, untuk bercerita secara jujur kepada teman dekat atau keluarganya saja ia merasa sangat enggan. Tembok keengganan itu terasa begitu tebal dan tinggi.
Meskipun terperangkap dalam badai internal dan dikelilingi tembok stigma, Budi tidak sepenuhnya pasrah. Ia mencoba mencari sekoci kecil untuk bertahan di tengah ombak yang mengguncangnya. Berbekal informasi sekilas yang ia baca di internet atau saran umum yang pernah ia dengar, Budi mencoba beberapa strategi koping mandiri.
Saat rasa panik menyerang sebelum presentasi penting di depan kelas, ia mencoba menerapkan teknik pernapasan dalam yang pernah ia baca di sebuah artikel. Menarik napas panjang, menahannya sejenak, lalu menghembuskannya perlahan. Ini sedikit membantu meredakan jantungnya yang berdebar kencang, meski rasa cemasnya tidak hilang sepenuhnya.
Untuk mengatasi tumpukan tugas yang terasa tak berujung, Budi mencoba membuat daftar prioritas atau to-do list harian. Ia berusaha memecah tugas besar menjadi langkah-langkah kecil. Meskipun terkadang ia masih merasa kewalahan dan sulit memulai, setidaknya ia mencoba untuk lebih terorganisir dalam mengelola waktunya.
Dalam hal dukungan sosial, Budi masih sangat berhati-hati. Namun, ada satu teman sekelasnya, Rian, yang tampak lebih peduli dan tidak menghakimi. Sesekali, Budi memberanikan diri curhat sedikit kepada Rian tentang betapa beratnya tugas kuliah atau rasa lelahnya, meskipun ia belum berani mengungkapkan kedalaman kecemasan atau perasaan putus asa yang ia rasakan. Sekadar didengarkan oleh Rian, meskipun hanya keluhan permukaan, memberinya sedikit kelegaan.
Ia juga mencoba kembali menyentuh gitar lamanya yang teronggok di sudut kamar kos. Dulu, bermain gitar adalah salah satu hobinya yang paling ia nikmati. Ia mencoba memainkan beberapa lagu favoritnya, berharap musik bisa mengalihkan pikirannya dari beban kuliah. Namun, seringkali sulit baginya untuk benar-benar menikmati momen itu; pikirannya masih saja kembali pada kekhawatiran dan tekanan yang ada.
Upaya-upaya mandiri ini, seperti teknik relaksasi, manajemen waktu dasar, curhat terbatas, dan melakukan hobi, memang memberikan sedikit ruang bernapas bagi Budi. Namun, rasanya seperti menempel plester pada luka yang cukup dalam. Strategi-strategi ini belum cukup kuat untuk membendung gelombang stres dan kecemasan yang terus datang, terutama karena akar masalahnya—tekanan akademik yang tinggi, ekspektasi, dan kesulitan adaptasi—belum benar-benar teratasi.
Ini menunjukkan bahwa ada kalanya, niat baik dan usaha mandiri saja tidak cukup; bantuan dari luar, terutama dari profesional, menjadi sangat diperlukan. Untungnya, Budi memilih jalur coping yang relatif sehat ini, alih-alih terjerumus pada mekanisme pelarian yang tidak sehat seperti begadang bermain game hingga pagi, merokok lebih banyak, atau mencoba alkohol, seperti yang mungkin dilakukan sebagian orang saat menghadapi stres berat.
Jangkar keengganan yang ditahan oleh stigma dan rasa takut akhirnya harus dilepas. Ada satu momen yang menjadi titik balik bagi Budi, sebuah puncak yang membuatnya sadar bahwa ia tidak bisa terus-menerus terombang-ambing sendirian dalam badai ini.
Momen itu datang setelah pengumuman hasil Ujian Tengah Semester (UTS). Budi, yang selalu berusaha keras dan menargetkan nilai tinggi, mendapati nilainya di salah satu mata kuliah inti jauh di bawah ekspektasi. Rasanya seperti pukulan telak. Di saat bersamaan, dosen wali menghubunginya, menanyakan tentang penurunan performa akademiknya dan beberapa kali ketidakhadirannya di kelas. Kombinasi antara kekecewaan pada diri sendiri dan teguran dari dosen membuatnya merasa benar-benar gagal dan putus asa. Malam itu, ia hanya meringkuk di tempat tidur, menolak menjawab telepon dari orang tua maupun Rian. Perasaan hampa dan pikiran bahwa ia tidak berguna semakin kuat.
Namun, di tengah keputusasaan itu, secercah kesadaran muncul. Ia teringat poster tentang layanan konseling mahasiswa yang pernah ia lihat sekilas di mading fakultas. Ia juga teringat percakapannya dengan Rian beberapa waktu lalu, di mana Rian dengan hati-hati menyarankan, “Kalau memang berat banget, Bud, coba deh cari info konseling di kampus. Katanya gratis buat mahasiswa.”
Saat itulah Budi mulai secara sadar menantang bisikan-bisikan stigma yang selama ini menahannya. Pikiran “Nanti dikira lemah,” atau “Masa masalah gini aja ke psikolog?” coba ia tepis. Ia mulai berpikir, “Apa salahnya mencoba? Aku sudah tidak tahan lagi seperti ini. Kesehatanku lebih penting daripada apa kata orang.” Ia menyadari bahwa terus memendam masalah sendirian justru lebih ‘lemah’ daripada berani meminta bantuan.
Dengan sisa-sisa tenaga dan keberanian, Budi mengambil langkah pertamanya. Ia membuka laptopnya, bukan untuk mengerjakan tugas, tapi untuk mencari informasi kontak Pusat Layanan Konseling di website resmi universitasnya. Menemukan nomor WhatsApp dan formulir pendaftaran online, tangannya sedikit gemetar saat mengetik pesan singkat menanyakan prosedur pendaftaran. Mengirim pesan itu terasa seperti melepaskan beban yang sangat berat.
Meskipun masih ada rasa gugup dan ragu, ada juga secercah kelegaan dan harapan baru yang muncul. Keputusan untuk mencari bantuan ini bukanlah tanda ia menyerah pada badai, melainkan sebuah tindakan proaktif dan berani untuk mengambil kembali kemudi atas kapal kehidupannya, sebuah manifestasi kekuatan di tengah kerapuhannya.
Menemukan Pelabuhan
Setelah mengambil langkah pertama yang paling sulit, Budi mulai menjelajahi berbagai pilihan ‘pelabuhan’ tempat ia bisa berlabuh dan mendapatkan dukungan. Ia terkejut sekaligus lega mengetahui bahwa ternyata ada cukup banyak sumber daya yang tersedia bagi mahasiswa di Indonesia yang menghadapi tantangan kesehatan mental.
Pilihan pertama yang ia pertimbangkan adalah Layanan Konseling Kampus. Ia menemukan bahwa universitasnya, seperti halnya banyak universitas besar lain di Indonesia, memiliki unit atau pusat layanan konseling khusus untuk mahasiswa. Layanan ini umumnya bisa diakses secara gratis atau dengan biaya sangat terjangkau. Prosedurnya pun relatif mudah: Budi hanya perlu mengisi formulir pendaftaran online melalui website kemahasiswaan atau fakultas psikologi, lalu menunggu jadwal sesi konseling. Yang membuatnya lebih tenang, layanan ini ditangani oleh psikolog profesional dan kerahasiaan data serta ceritanya dijamin.
Selain konseling profesional, Budi juga menemukan informasi tentang Konseling Sebaya (Peer Counseling) di beberapa kampus. Konsepnya adalah mahasiswa bisa berbicara dan berbagi masalah dengan sesama mahasiswa yang telah mendapatkan pelatihan khusus sebagai konselor sebaya. Pilihan ini terasa sedikit kurang mengintimidasi bagi Budi, mungkin bisa menjadi langkah awal sebelum bertemu psikolog profesional.
Jika karena suatu alasan layanan kampus penuh atau ia merasa butuh opsi di luar kampus, Budi mengetahui ada Sumber Eksternal lain. Ia bisa menghubungi hotline pemerintah seperti Halo Kemenkes di nomor 1500-567 untuk mendapatkan informasi umum seputar kesehatan jiwa atau menanyakan lokasi fasilitas kesehatan terdekat yang menyediakan layanan jiwa.
Di era digital ini, Budi juga menemukan banyak Platform Online dan Aplikasi kesehatan mental. Aplikasi seperti Riliv menawarkan layanan konseling online via chat atau video call dengan psikolog berlisensi, fitur meditasi terpandu berbahasa Indonesia untuk relaksasi, serta artikel-artikel informatif. Ada juga platform telemedicine umum seperti Halodoc, Alodokter, dan KlikDokter yang juga menyediakan layanan konsultasi psikologi. Platform lain yang fokus pada konseling online seperti Bicarakan.id atau Ibunda.id juga menjadi pilihan.Â
Setelah menimbang-nimbang, Budi memutuskan untuk mencoba mendaftar layanan konseling di kampusnya terlebih dahulu karena gratis dan lokasinya mudah dijangkau. Ia mengisi formulir online, sedikit gugup saat mendeskripsikan singkat masalahnya, namun merasa lega setelah menekan tombol ‘kirim’. Sambil menunggu jadwal, ia juga mengunduh aplikasi Riliv untuk mencoba fitur meditasinya saat merasa cemas di malam hari.
Mengetahui ada begitu banyak pilihan dukungan membuat Budi merasa tidak sendirian. Keberagaman jalur bantuan ini—mulai dari yang formal di kampus, dukungan sebaya, hotline pemerintah, hingga platform digital—menunjukkan bahwa ada ‘sesuatu untuk semua orang’, mengakomodasi berbagai tingkat kebutuhan, preferensi privasi, dan kemampuan finansial. Ini menormalkan proses pencarian bantuan dan meningkatkan harapan bahwa solusi itu ada dan dapat dijangkau.
Mentari Mulai Bersinar Lagi
Beberapa hari setelah mendaftar, Budi mendapatkan jadwal sesi konseling pertamanya di pusat layanan konseling kampusnya. Jantungnya sedikit berdebar saat berjalan menuju ruangan konseling, namun ia mencoba menguatkan diri. Sesi pertama itu terasa canggung pada awalnya, namun konselor yang ramah dan penuh empati berhasil membuatnya merasa lebih nyaman untuk mulai bercerita.
Proses konseling bukanlah tongkat sihir yang bisa menghilangkan semua masalah dalam sekejap. Budi menyadari ini adalah sebuah perjalanan. Dalam beberapa sesi berikutnya, ia dibantu untuk memahami akar dari tekanan yang ia rasakan—perfeksionisme, ketakutan akan kegagalan, kesulitan beradaptasi, dan beban ekspektasi. Ia belajar mengenali pola pikir negatifnya dan secara bertahap mencoba menggantinya dengan cara pandang yang lebih realistis dan sehat.
Konselor juga membekalinya dengan strategi koping yang lebih terstruktur, seperti teknik relaksasi yang lebih mendalam, cara mengelola waktu yang lebih efektif (bukan sekadar membuat to-do list), dan pentingnya menetapkan batasan yang sehat antara kuliah dan kehidupan pribadi. Ia juga didorong untuk mulai membangun kembali koneksi sosialnya secara perlahan.
Perlahan tapi pasti, Budi mulai merasakan perubahan positif. Tidurnya mulai lebih teratur dan nyenyak. Ia tidak lagi sering melewatkan makan atau makan berlebihan. Sakit kepala dan masalah perutnya berkurang. Di kelas, ia merasa lebih bisa fokus menyimak penjelasan dosen. Ia mulai berani menyapa teman-temannya lagi, bahkan menerima ajakan Rian untuk bergabung kembali di kegiatan UKM fotografi yang dulu ia sukai.
Ia masih menghadapi tantangan akademik, tugas-tugas masih banyak, namun kini ia merasa lebih memiliki kendali dan tidak mudah panik saat menghadapi kesulitan. Ia belajar menerima bahwa tidak apa-apa untuk tidak selalu sempurna dan bahwa meminta bantuan bukanlah tanda kegagalan.
Kisah Budi adalah cerminan dari apa yang mungkin dialami oleh banyak mahasiswa di Indonesia. Perjalanan menghadapi tekanan akademik, sosial, dan badai di kepala adalah hal yang nyata dan tidak perlu disembunyikan atau dianggap aib. Pengalaman Budi mengajarkan kita bahwa mengalami kesulitan mental itu wajar, dan yang terpenting adalah keberanian untuk mengakuinya dan mencari pertolongan.
Mencari bantuan—baik itu ke konselor profesional, teman sebaya yang terlatih, atau melalui platform online—bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah langkah berani, sebuah bentuk kepedulian dan kekuatan untuk memperjuangkan kesejahteraan diri sendiri. Ingatlah, ada banyak ‘pelabuhan’ dan sumber dukungan yang siap membantu.
Menjaga kesehatan mental adalah sebuah proses yang berkelanjutan, sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik kita. Ini bukan sesuatu yang bisa dicapai dalam semalam, melainkan sebuah komitmen untuk terus belajar mengenali diri, mengelola stres, dan membangun ketahanan.
Mari kita mulai lebih peduli, tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada teman-teman di sekitar kita. Sebuah pertanyaan sederhana seperti “Kamu lagi apa kabar?” yang tulus, atau kesediaan untuk mendengarkan tanpa menghakimi, bisa menjadi pelita kecil yang sangat berarti bagi seseorang yang sedang berjuang dalam kegelapan. Jangan pernah ragu untuk meraih uluran tangan bantuan, karena di balik awan mendung, mentari harapan selalu siap untuk bersinar kembali.
